Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan mungkin tidak jarang kita merasakan kemarahan dan emosi yang sangat.
Memang sifat marah merupakan tabiat yang tidak mungkin luput dari
diri manusia, karena mereka memiliki nafsu yang cenderung ingin selalu
dituruti dan enggan untuk diselisihi keinginannya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah”
Bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan
oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka,
karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia
bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk
bagi diri dan agamanya.
Oleh karena itu, hamba-hamba Allah
Ta’ala yang bertakwa,
meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka
selalu berusaha melawan keinginan hawa nafsu, maka mereka pun selalu
mampu meredam kemarahan mereka karena Allah
Ta’ala.
Allah
Ta’ala memuji mereka dengan sifat ini dalam firman-Nya,
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“
Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134).
Artinya: jika mereka disakiti orang lain yang menyebabkan timbulnya
kemarahan dalam diri mereka, maka mereka tidak melakukan sesuatu yang
diinginkan oleh watak kemanusiaan mereka (melampiaskan kemarahan), akan
tetapi mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan
bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka.
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ »
“
Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan
lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat
(yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”.
Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allah
Ta’ala, yang ini sangat sedikit dimiliki oleh kebanyakan manusia.
Imam al-Munawi berkata,“Makna hadits ini: orang kuat (yang
sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan emosinya ketika
kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan menundukkan
nafsunya (ketika itu). Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits ini membawa makna kekuatan yang lahir kepada kekuatan
batin. Dan barangsiapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka
sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan
paling berbahaya (hawa nafsunya)”.
Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allah
Ta’ala yang disebutkan dalam sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah”.
Arti kuat dalam hadits ini adalah kuat dalam keimanan dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah .
Dalam hadits lain, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ
عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ
الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ
الْحُورِ مَا شَاءَ »
“
Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk
melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya)
pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah
membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya”.
Imam ath-Thiibi berkata, “(Perbuatan) menahan amarah dipuji (dalam
hadist ini) karena menahan amarah berarti menundukkan nafsu yang selalu
menyuruh kepada keburukan, oleh karena itu Allah
Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,
{وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}
“
Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imran:134)”.
Sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
ini: “…padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa
menahan kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu
melampiaskan kemarahannya dan dia menahnnya karena Allah
Ta’ala,
adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya karena takut
kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, dan
sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini menahan kemarahan
tidak terpuji.
Seorang mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam
semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar,
karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allah
Ta’ala sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allah
Ta’ala berfirman,
{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}
“
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).
Imam Ibnul Qayyim menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan
sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah
orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke
dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat
dia menyimpang dari kebenaran”.
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau. Orang itu berkata: Berilah wasiat (nasehat) kepadaku. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau marah”. Kemudian orang itu mengulang berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjawab: “Janganlah engkau marah”.
Orang ini datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat yang ringkas dan menghimpun semua sifat baik, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya untuk selalu menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat berkali-kali dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan jawaban yang sama: “Janganlah engkau marah”. Ini semua
menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah sumber segala keburukan
dan menahannya adalah penghimpun segala kebaikan.
Imam Ja’far bin Muhammad berkata: “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan”.
Imam Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi, ketika dikatakan kepada
beliau: Sampaikanlah kepada kami (nasehat) yang menghimpun semua akhlak
yang baik dalam satu kalimat. Beliau berkata: “(Yaitu) meninggalkan
(menahan) kemarahan”.
Demikian pula imam Ahmad bin Hambal dan imam Ishak bin Rahuyah ketika
menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka berdua mengatakan: “(Yaitu)
meninggalkan (menahan) kemarahan”.
Maka perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
di atas: “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan
sebab (menahan kemarahan) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu:
sifat lemah lembut, dermawan, malu, merendahkan diri, sabar, tidak
menyakiti orang lain, memaafkan, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang
akan muncul ketika seseorang berusaha menahan kemarahannya pada saat
timbul sebab-sebab yang memancing kemarahannya.
Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasi kemarahan ketika muncul pemicunya
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memberi
petunjuk kepada orang yang sedang marah untuk melakukan sebab-sebab yang
bisa meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allah
Ta’ala\, di antaranya:
1- Berlindung kepada Allah
Ta’ala dari godaan setan
Dari Sulaiman bin Shurad beliau berkata: “(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling mencela,
salah seorang dari keduanya telah memerah wajahnya dan mengembang urat
lehernya. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia
mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya.
Seandainya dia mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk”, maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya”.
2- Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam”.
3- Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain.
Dari Abu Dzar al-Gifari bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri
maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya
dia berbaring”.
Di samping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk
menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah, yang ini akan
menutup jalan-jalan setan yang ingin menjerumuskan manusia ke dalam
jurang keburukan dan kebinasaan. Allah
Ta’ala berfirman,
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}
“
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk
(semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak
kamu ketahui” (QS al-Baqarah:169).
Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah, maka
putranya (yang bernama) ‘Abdul Malik berkata kepadanya: Engkau wahai
Amirul mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan
kepadamu, engkau marah seperti ini? Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata:
Apakah kamu tidak pernah marah, wahai ‘Abdul Malik? Lalu ‘Abdul Malik
menjawab: Tidak ada gunanya bagiku lapangnya perutku (dadaku) kalau
tidak aku (gunakan untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak
tampak (sehingga tidak mengakibatkan keburukan).